Sabtu, 10 Oktober 2009

POLIGAMI,
Solusi Hajat Umat, Bukan Pemuas Syahwat

Oleh : A. Adib Masruhan*

Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap hak hak yatim, maka kawinilah wanita wanita (ibu dari anak yatim tersebut) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil,maka kawinilah seorang saja atau budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (QS Annisa 4:3)

Dari ayat ini para praktisi Hukum Islam (Ulama) berkesimpulan bahwa Poligami merupakan produk hukum Islam, dan merupakan sunnah Rasulullah SAW yang dianjurkan untuk kita ikuti. Meskipun semua pembahasan tentang poligami mengacu pada ayat tersebut ternyata hasil dari pemahamannya beragam dari setiap ulama.
Kebanyakan pembahasan tentang poligami hanya secara tekstual tanpa memperhatikan konteksnya sehingga hukum yang dihasilkan adalah bahwa lelaki boleh dan berhak melakukan poligami secara mutlak tanpa persyaratan apapun. Bagi Imam Syafii dan Ulama lain lain dari kelompok Fukoha, poligami sah sah saja bagi semua lelaki dengan syarat tidak melebihi dari empat isteri, dan mampu berlaku adil menurut pihaknya, perlakuan adil ini hanya dipertanggung jawabkan diakhirat kelak.
Menurut penafsir salaf seperti Ibnu Kasir mengemukakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Aisyah tentang sebab turunya ayat poligami ini yakni, “apabila seorang lelaki tidak dapat berbuat adil terhadap anak yatim yaitu akan dikawininya mereka (anak yatim tersebut), hendaklah ia mengawini wanita lain sebanyak yang ia sukai dua, tiga atau empat. Namun jika khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, maka seorang isteri lebih baik baginya”
Berbeda dengan Ibnu Katsir, Zamakhsyari mengatakan bahwa ayat diatas memiliki dua arti; Pertama. Jika seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim, hendaklah keluar dari tanggung jawab (dari memelihara mereka). Kedua, jika seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap wanita wanita yang akan dikawini, hendaklah ia mengawini seorang isteri saja. Jadi ayat diatas merupakan perintah untuk memeperlakukan adil terhadap anak yatim dan perlakuan adil terhadap isteri yang lebih dari satu. Dan meskipun ayat diatas secara implisit memperbolehkan berpoligami, karena persyaratan yang sangat ketat, maka beristeri satu (monogami) adalah perintah Allah.
Demikian adalah beberapa sudut pandang dari para ulama baik fikih maupun tafsir, namun hemat saya bahwa sebetulnya Agama Islam tidak bertanggung jawab terhadap poligami, tetapi hanya bertanggung jawab atas pembatasan dalam berpoligami itu sendiri. Kalau kita melihat sejarah, bahwa poligami sudah mentradisi sejak zaman sebelum Islam itu lahir dan bahkan telah banyak dilakukan oleh para pemimpin umat, seperti Nabi Dawud beristerikan seratus wanita, dan anaknya yang bernama Nabi Sulaiman memiliki isteri seribu tujuh ratus isteri dan tiga ratus dari hamba sahaya, selain para Nabi tersebut begitu pula tradisi pemimpin suku dimana saja berada mereka selalu berpoligami, termasuk para raja di Jawa, mereka selalu punya selir selain permaisuri. Maka tidak salah kalau ada pendapat yang mengatakan bersumber dari para sejarawan : Hukum asli adalah poligami, sedang monogami adalah pengecualian bagi yang tidak mampu.

Solusi hajat umat.
Ayat tersebut diatas diturunkan disaat saat peperangan sedang gencar terjadi dikalangan Muslimin pada zaman Rasulullah SAW, sehingga banyak kaum lelaki gugur di medan laga, dampaknya banyak wanita menjanda, baik dikalangan Muslimin maupun dipihak musuh. Kondisi masyarakat dengan banyak wanita dibanding lelaki, terutama para janda yang ditinggal gugur para suami di medan laga menuntut diturunkanya hukum sebagai solusi, maka turunlah ayat diatas dengan pemahaman yang sedikit bebeda dari pihak fukoha maupun mufasirin yang telah dikemukakan didepan.
Ayat diatas menerangkan kondisi anak yatim -yang dalam berbagai kesempatan Nabi SAW mewajibkan kita untuk menyayang dan ikut bertanggung jawab atas mereka (bukan mengawini)-, dan apabila kita merasa khawatir tidak bisa berbuat efektif (adil dalam hal materi) terhadap hak hak anak yatim, maka kawinilah “ibunya”(yang janda korban perang) satu, dua atau tiga. Disini kita sampaikan bahwa yang dikawini secara poligami adalah para janda yang beranak yatim tersebut, sehingga kita menjadi bapak darinya, bukan sembarang gadis, hal itu ditunjukkan dengan lafadh FA’ sebagai jawab dari ungkapan sebelumnya ( jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap hak hak yatim) dan wanita yang disuruh mengawini adalah berbentuk ma’rifat (sudah dikenal) bukan nakiroh (umum) sehingga bukan sembarang wanita, tapi ditunjukkan dengan susunan sebelumnya yaitu pembicaraan terhadap anak yatim.
Hal itu dicontohkan beliau Rasulullah SAW dalam mengapresiasi ayat tersebut, beliau bermonogami lebih lama (lebih dari 25 th) dengan isteri Khodijah, sepeninggalnya dan dalam posisi menduda, meminang Aisyah, seorang gadis, baru kemudian dalam usia beliau yang sudah kepala lima menikahi Saudah seorang janda tua, yang dikemudian hari, jadwal giliranya diserahkan untuk menjadi milik Aisyah. Baru dilain kesempatan beliau menikah lagi dengan para janda, bahkan ada seorang janda dengan anak yatim yang masih kecil kecil dan beliau mengungkapkan siap menjadi bapak untuk mereka, yaitu Ummu Salamah.
Setahu saya belum ada dikalang sahabat beliau yang menikahi gadis sebagai isteri kedua atau ketiga, disini perlu dipertanyaklan legitimasi berpoligami dengan gadis itu bersumber dari mana ? dan itu bukan sunnah Rasulullah SAW seperti didakwakan oleh sebagian orang dengan mencarikan isteri untuk suaminya adalah sunnah dan jalan terdekat masuk sorga Allah.
Jadi berpoligami itu boleh tapi khusus dalam situasi dan kondisi tertentu, seperti jika sensus penduduk dinyatakan bahwa jumlah wanita dua kali lipat atau lebih dari jumlah lelaki, atau kondisi perang yang mana banyak para lelaki gugur di medan pertempuran, dan itupun yang dipoligami adalah para janda yang menanggung anak yatim dengan niyat ikut memelihara anak yatim, bukan berpoligami untuk memuaskan syahwat sebagaimana terjadi di masyarakat kita.
Selain itu, dari pihak wanita juga harus siap memberikan syarat pada waktu dinikahi dengan persyaratan tidak untuk dipoligami, karena syarat yang diajukan dalam pernikahan harus ditepati oleh pihak suami. Rasulullah SAW setiap menikahkan putrinya juga mengajukan persyaratan seperti itu kepada para menantunya, sehingga sewaktu sayidina Ali mau mempoligami Fatimah (putri Rasulullah SAW) beliau tidak memberi ijin, atau bahkan mengancam “ceraikan anak saya baru menikah dengan wanita lain”.(Bukhori 5:2004)
Pemerintah agar membuat aturan dengan tetap mengangkat martabat kaum wanita tanpa mendiskreditkan norma norma agama dalam hal poligami, seperti apa yang terjadi di negara negara timur tengah bisa menjadi perbandingan yaitu:
Di Sirya: peraturan embolehkan berpoligami asal setelah dilakukan pengecekan oleh pengadilan bahwa yang bersangkutan memang membutuhkan poligami (seperti isteri tidak bisa punya anak), dan kemampuan secara finansial telah mencukupi dan ada kesanggupan untuk berlaku adil.
Di Yordania: ijin berpoligami juga ada pada pengadilan setelah diputuskan memenuhi syarat syarat antara lain: ada unsur maslahah dalam berpoligami, jaminan harta (deposit) untuk kelanggengan nafkah yang harus diberikan kepada isteri isterinya, perlakuan adil, pemberitahuan kepada yang mau dinikahi bahwa dia telah memiliki isteri, ijin dari isterinya dan persyaratan lain yang lebih ketat untuk membuat kesungguhan berpoligami.
Di Mesir: poligami boleh dengan syarat membuat pernyataan bahwa sebagian harta miliknya telah dihibahkan kepada isteri pertama sebagai jaminan, dan dia menandatangai surat bermeterai yang berisi akan memperlakukan adil dibidang rumah tininggal, pakaian, nafkah dan mahar.
Namun di Tunisia melarang poligami secara terang terangan dan memberikan ancaman hukuman penjara setahun dan denda bagi siapa saja bila ditemukan dia memiliki isteri lebih dari satu.
Poligami tidak bisa kita larang begitu saja, karena sudah sesuai dengan dasar agama yang tidak bisa kita robah atau bahkan karena ketentuan diatur oleh Alqur’an maka bersifat qoth’i, namun persyaratan persyaratan bisa kita tambahkan dalam pelaksanaannya, itulah yang dituntut oleh masyarakat kita, sehingga berpoligami bukan sekedar memuaskan libido, mengumbar nafsu seperti hypersex, tuntutan biologis, tanpa ada kemaslahatan yang bisa dipetik, bahkan hanya sekedar mendatangkan kemudlorotan atau kerusakan rumah tangga (mafsadah). Bagaimanapun juga, kita untuk tidak melupakan ayat tentang keadilan yang dipersyaratkan oleh Alqur’an dalam pelaksanaaan poligami tersebut, dan ini kami sampaikan sebagai penutup karena ayat ini memustahilkan kemampuan kita untuk merealisasikanya. QS 4:129 “Dan kamu sekali kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri isterimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”

• A. Adib Masruhan, Staff pengajar di Pondok Pesantren Almaghfur Mranggen, Demak.
* Disampaikan dalam seminar "Poligami Dalam Perspektif Islam dan Psikologi (rekonsiliasi antara Dogma dan Pengetahuan) di Unissula Semarang, 3 Januari 2007.